SALAM

Saturday, November 12, 2011

Ikatan ini Anugerah Teristimewa PemberianNya

Sebut saja A dan B. Dua orang sahabat yang sejak kecil sering bercanda bersama, menangis bersama, bahkan melanjutkan sekolah hingga perguruan tinggi pun selalu bersama. Kecocokan antara keduanya telah terbingkai dalam sebuah jalinan persaudaraan yang unik, yang tak mudah kita temui di kebanyakan episode persaudaraan yang lain.

Suatu ketika, di sebuah serambi masjid kampus, mereka sepakat untuk saling mengoreksi dan mengevaluasi dir mereka masing-masing. Si A harus mengevaluasi kekurangan dan kelebihan si B. Begitu pun sebaliknya, si B juga harus bisa menyebutkan kekurangan dan kelebihan yang ada pada diri si A. Mereka bersepakat bahwa beberapa hari lagi akan bertemu di tempat yang sama untuk menyampaikan hasil evaluasi yang mereka siapkan mulai dari pertemuan itu. Hingga tibalah hari dimana mereka menyampaikan boring evaluasinya.

“A, silakan kamu mulai bacakan evaluasimu terhadap tingkahku selama ini.” Ucap si A mengawali pembicaraan.

“Tidak B, kamu saja yang memulainya. Sepertinya tulisanmu lebih banyak. Dan sepertinya kamu lebih siap untuk menyampaikannya lebih dahulu.”

“Hmm, baiklah. Aku yang akan memulainya.”

“Silakan B, aku akan mendengarkan.”

“Tapi,,, kamu janji ya tidak akan marah padaku setelah kubacakan penilaianku padamu?”

“Baiklah, aku tidak akan marah. Sampaikan saja sejujurnya padaku.”

“Err, kamu mau mendengar yang mana dulu? Tentang kelebihanmu atau kekuranganmu?”

“Kekuranganku saja dulu.”

“A, kamu itu orangnya egois, maunya selalu diperhatikan, tidak peka sama lingkungan, tak pernah mau terus terang tentang masalah yang menimpamu. Kamu itu selalu menyalahkan orang lain ketika ada masalah yang menimpamu, kamu itu……”

“maaf B, maafkan aku bila selama ini telah sering menyakitimu.” Ujar si A memotong perkataan si B yang sedang membacakan evaluasinya.

“Tak apa A, maaf juga bila kamu telah tersinggung mendengarkan evaluasiku ini. Tapi, aku masih belum selesai membacakannya. Apakah harus ku hentikan?”

“Tidak B, lanjutkan saja. Aku akan terus mendengarkannya.” Kata si A sambil menyeka pipinya yang mulai meneteskan air mata.

“Kamu itu, maaf…. Pemalas, tergantung pada orang tua, selalu bilang aku seperti anak-anak. Dan kamu itu plin-plan….” Sejenak B menatap wajah saudaranya. Binar matanya mulai terbasahi air mata yang mulai menetes melintasi pipinya.

“A, ada apa? Apa ku menyakitimu? Kalau begitu aku hentikan saja evaluasiku. Aku tak ingin sahabatku bersedih seperti ini.”

“Tidak apa B, terus lanjutkan saja. Aku akan terus mendengarkan nasihat dari sahabat terbaik ku.”
“Aku tak sanggup melihatmu bersedih seperti ini. Biar ku hentikan saja ya.”

“Tolong B, lanjutkan saja. Aku tidak apa-apa sahabatku. Aku hanya ingin mengetahui dari lisanmu mengenai kesalahan-kesalahanku padamu. Apakah kekuranganku masih banyak?” ujar A sambil menahan tangis yang hampir meledak “Maaf A, masih ada tiga halaman lagi. Baiklah, aku lanjutkan.” Si B pun melanjutkan membaca daftar kekurangan si a yang telah ia tuliskan.
Selanjutnya, si B membacakan daftar kelebihan yang dimiliki si A.

“A, bagiku kamu tetap istimewa, kamu adalah temanku yang paling cerdas dan kamu sering mengingatkanku bila ku tersalah.” Si B membacakan daftar kelebihan si A yang hanya tiga paragraph tersebut.

“Sudah A, aku sudah membacakan semuanya. Selanjutnya giliranmu.”

Sambil berusaha senyum, si A membacakan daftar kelebihan dan kekurangan si B.

“Sekarang aku akan membacakan kelebihanmu dulu saja ya B.”

“Baik A, kalau kamu berkenan, silakan.”

“Kamu itu kreatif, cekatan, suka menolong, penuh ide brilian, konsisten, tak mengharap imbalan duniawi, kata-katamu selalu terjaga, dan selalu senyum tatkala menyapa orang-orang di sekitarmu….” Ucap si A panjang lebar hingga tiga halaman A4 ia selesai bacakan.

“sudah B, aku sudah selesai membacakan semua yang kutulis.”

“kekuranganku?”

“Tidak, tidak ada…. Aku sudah rampung membaca semua evaluasiku padamu saudaraku.”

“Apa maksudmu? Apa saja kekuranganku dan tingkah burukku yang telah menyakitimu selama aku menjadi sahabatmu A? coba sebutkan saja, aku tidak akan marah.”

“Aku tak bisa menuliskan apapun pada lembar kekuranganmu A. bagiku, kekuranganmu telah mengajarkanmu untuk lebih dewasa dan bijak dalam mengambil setiap keputusan. Dan semua itu telah terbingkai indah dalam memori hidupku sahabatku. Oleh karena itu tak ada yang bisa kubacakan mengenai kekuranganmu.”

“Duhai sahabatku, maafkan aku. Sungguh engkau adalah sahabat terbaik yang pernah kutemui. Engkau adalah mutiara yang selalu menjadi perhiasan dalam hidupku, menghiasi setiap lembaran perjalanan kehidupan yang penuh kejadian mengharu biru ini.”

Dan kini, serambi masjid kampus itu pun menjadi saksi, tetesan air mata yang mengalir karena sebuah ikatan yang begitu berharga. Ikatan ukhuwah.

*****
Ah, rasanya aku belum bisa menjadi seperti A yang mampu menangkap setiap aura kebaikan dari sahabatnya. Menjadikan segala kekurangan sahabatnya sebagai pelecut semangat untuk mendewasakan diri tanpa mengungkit-ngungkit apalagi membicarakan kekurangan sahabatnya pada orang lain. Kita, pasti pernah punya salah. Bahkan sering kita lakukan pada orang lain. Pada sahabat kita. Saat ego masih tersimpan dalam hati, saat persepsi menutupi mata hati bahwa orang lain harus menjadi yang sempurna di hadapan kita, tanpa cacat, tanpa kekurangan. Maka, sesungguhnya kita telah membutakan mata hati kita untuk memberikan permaafan pada orang lain. Menganggap setiap kesalahan sahabat kita adalah dosa besar yang takkan termaafkan dan telah menutup pintu maaf bagi setiap kesalahan mereka.

Sahabatku, Saudaraku… ikatan kita bukan sembarang ikatan. Kita diikat bukan karena kesamaan kampus, kesamaan asal daerah, kesamaan jurusan, kesamaan organisasi. Akan tetapi kita diikat atas dasar cinta yang terbingkai dalam ukhuwah. Cinta pada Allah dan ukhuwah yang menggelora mempersatukan setiap keping-keping hati yang tersebar di seluruh penjuru bumi-Nya ini.

Sahabatku, Saudaraku… ikatan kita adalah ikatan yang istimewa. Yang telah dipertautkan oleh Yang Maha Istimewa, yang selalu kita ucapkan doa-doa rabithah dalam waktu istimewa kita, di sepertiga malam terakhir sambil berdoa, Ya Allah….Sesungguhnya Engkau tahu bahwa hati ini telah berpadu ,berhimpun dalam naungan cintaMu, bertemu dalam ketaatan, bersatu dalam perjuangan, menegakkan syariat dalam kehidupan, Kuatkanlah ikatannya, kekalkanlah cintanya, tunjukilah jalan-jalannya, terangilah dengan cahayaMu, yang tiada pernah padam, Ya Rabbi bimbinglah kami. Lapangkanlah dada kami, dengan karunia iman dan indahnya tawakal padaMu, hidupkan dengan ma’rifatMu, matikan dalam syahid di jalan Mu, Engkaulah pelindung dan pembela…..

Sumber: link

Wednesday, November 2, 2011

Semoga Ummat Terislah!!! (Part 3)

"Masya Allah ya syabab, kamu nampak sangat bersemangat." Abu Syahid menepuk belakang tubuhku. Aku menggeleng.

"Abu Syahid, apa bezanya denganmu? Walaupun berumur tapi tangkas. Berapa kereta kebal telah kamu letupkan semalam?"

"Tiadalah kamu yang meletupkan itu apabila kamu meletupkan itu, melainkan Allah jugalah yang meletupkannya."

Saya ketawa. Abu Syahid, amat merendah diri . Tawaddu', itu antara ciri-ciri kepimpinan yang ada dalam semua pemimpin kami. Walaupun dia seorang general yang hebat, tetap mempunyai ciri seperti ini. Sebenarnya, kata-kata Abu Syahid tadi adalah maksud firman Allah SWT  yang sering dibacakannya sebelum menembak

"Dan tidaklah kamu yang melontar ketika kamu melontar melainkan Allah jugalah yang melontar." Segalanya diserahkan pada Allah SWT.

"Alhamdulillah, Allah beri kemenangan kepada kita."

"Alhamdulillah." Aku dan rakan-rakan yang lain menjawab.

"Tapi Abu Syahid, kemenangan ini belum muktamad. Bila agaknya bumi ini akan dibebaskan oleh Allah SWT?" Ahmad Khaffajah bersuara.

"Esok akan ada peperangan lagi, lusa akan ada peperangan lagi, dan begitulah seterusnya ya Abu Syahid. Bila semua ini akan berakhir? " Ayyub, seorang lagi sahabatku bersuara.

Abu Syahid mengukir senyuman. "Bila Ummat terislah."

"Saya sebenarnya tidak faham . Apa maksud Abu Syahid apabila ummat terislah?

Kita memperkuatkan diri kita semenjak beberapa tahun kebelakangan ini. Kita sukar apabila Israel membedil tanah kita, bukankah kita sudah ada kekuatan untuk menumbangkan mereka?" Muhannad, rakan rapatku dalam kumpulan ini seakan tidak berpuas hati.

Aku juga ingin mengetahui jawapan Abu Syahid. Sebenarnya, bukan Abu Syahid sahaja. Semua kepimpinan kami, kalau ditanya bila peperangan ini akan berakhir, maka mereka akan menjawab: Bila ummat terislah.

Kami tidak faham. Sedangkan, kami amat arif betapa tentera kami sudah cukup bersedia untuk menumbangkan Tel Aviv. Semenjak beberapa tahun kebelakangan ini,walaupun kami tahu teknologi mereka sudah meningkat , tetapi mereka tetap tidak mampu menembusi sempadan kawasan kami. Walaupun bilangan tentera kami lebih sedikit, dan senjata kami tidaklah setaraf dengan senjata mereka, tetapi kami mempunyai kekuatan yang mereka tiada. Malah, strategi kami amat ampuh. pembuat-pembuat senjata dan letupan kami juga semakin hebat.
 
Kenapa perlu menanti ummah ini terislah?? Berapa lama itu??

Abu Syahid memandang kami semua.

"Adakah kamu sudah bosan dengan harian kamu?"

"Tidak, ya Abu Syahid, cuma hati kami tercalar-calar melihat tanah ini dinodai. Kami ingin menghentikannya segera". Muntasir Billah, seorang lagi ahli kami menjawab.

*p/s: kepada pembaca2 setia notaperjalanankami~ pada pandangan anda mengapakah kita perlu menunnggu hingga UMMAH TERISLAH??? Sila berikan komentar anda sebelum saya mengakhiri cerpen ini ..
~Moga Allah Redho~


7.00pm
2 November 2011
Selatan Semenanjung Malaysia.
Moga kita mampu menyumbang kepada pengislahan ummah!